Seremoni ini didahului dengan penyerahan ‘tuak, ayam, sirih-pinang dan beras’ dari setiap desa oleh Kepala Desa masing-masing dan juga dari Bupati Lembata sebagai ‘Maguran’ (Orang Besar; Kepala Daerah) kepada pemangku adat. Seluruh pemberian itu disatukan lalu dilakukan seremoni dan diolah untuk menjadi santapan bersama.
‘Molan’ (dukun) akan memotong ayam lalu merecikkan darahnya di atas beras yang sudah disatukan dalam satu wadah. Ayam yang sudah dipotong, akan dimasak, dan ada bagian tubuh tertentu dari ayam yang diambil sebagai persembahan untuk Leluhur Nenek Moyang. Beras dan ayam yang sudah dimasak akan disantap secara bersama sebagai tanda persatuan dan persaudaraan.
Setelah itu, dukun akan melakukan ritus pembersihan dengan symbol-simbol yang telah disediakan, seperti sirih-pinang, buah kelapa muda dan kelengkapan lainnya. Maksudnya adalah bahwa jika selama ini ada tutur kata atau tindakan kita yang menyakiti orang lain, ini lah saatnya kita bertobat dan membiarkan semuanya pergi bersama terbenam matahari. Air kelapa yang direcikkan di atas semua yang hadir menandakan ketenteraman, kedamaian dan kesejukkan.
Ritus Tugul Gawak, sebenarnya merupakan kesempatan bagi kita semua untuk membangun persatuan dan persaudaraan, saling memaafkan dan bersama-sama mendapat ‘berkat dan rahmat’ dari Leluhur Nenek Moyang untuk membangun kampung halaman dalam semangat kebersamaan. Ritus ‘tugul-gawak’ mengandaikan pertobatan yakni mengubah sikap dan hati, menentukan arah dasar hidup yang baru serta menata ulang mentalitas.
Habitus Baru:
‘TUGUL-GAWAK’Yang dimaksud dengan ‘habitus’ adalah gugus insting, baik individual maupun kolektif yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok.
Jika Tugul-Gawak menjadi ‘Habitus Baru’ maka persatuan dan persaudaraan harus menjadi spirit utama dalam seluruh dinamika kehidupan di setiap medan pengabdian agar tujuan bersama yang dicita-citakan dapat tercapai dalam kebersamaan. ‘Tugul-Gawak’ menjadi ‘Habitus Baru’ artinya persatuan dan persaudaraan harus membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara beritndak dan cara berelasi sehingga hidup bersama menjadi sesuatu yang indah, menarik, menyejukkan, menentramkan dan saling melengkapi menuju kepenuhan sebagai manusia. Jika ini yang terjadi maka sekat-sekat primordialisme serta polarisasi kepentingan sesaat akan sirna digilas persatuan dan persaudaraan.
Karena itu, apa yang dilakukan Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday dalam Eksplorasi Budaya ini sebenarnya ingin memperbaiki keadaban publik yang telah rusak, yang telah mengaburkan bahkan menghilangkan nilai-nilai tradisi yang sebelumnya diyakini sebagai pegangan hidup yang luhur dan meyakinkan. Nilai-nilai budaya inilah yang harus diangkat kembali, dihidupkan dan dimanifestasikan dalam kehidupan bersama demi sebuah keadaban publik baru, sebuah habitus baru (Sumber: Ferry Koban-orang Atadei – Diskominfo Lembata)