Masyarakat Lembata asal 9 Kecamatan yang terpecah belah akibat eksploitasi politik identitas yang tinggi antar wilayah, menimbulkan kesedihan mendalam bagi Plt. Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday.
Bagaimana tidak, semangat Statment 7 Maret yang melandasi semangat persatuan dan persaudaraan dalam memperjuangkan otonomi daerah Kabupaten Lembata, perlahan mulai pudar ditengah keseharian yang terkotak-kotak antar warga 9 kecamatan.
Hal tersebut disampaikannya saat memimpin rapat kerja terbatas bersama para camat dan kades wilayah seputaran gunung Ile Lewotolok dalam penanganan dampak karhutla dan erupsi yang masih terjadi, Selasa (03/08/2021) bertempat di rujab Bupati Lembata.
“Hari ini kita semua berada disini bersama leluhur Lewotanah Leu auq Lembata untuk memulai aktivitas di rumah besar ini”.
“Tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan, dan tidak ada 1 orang yang bisa selesaikan semua persoalan sehingga dibutuhkan tim kerja yang saling support” tegasnya.
“Saya bersama pak Sekda dan para asisten bersama pimpinan OPD, Camat dan Kades/Lurah kita diberikan amanah. Ada masa kepemimpinan kita. Kita tidak selamanya menjabat disitu. Sehingga kita tidak boleh sombong dengan amanah ini”.
“Hentikan semua tindakan yang mengintimidasi masyarakat dan mengintimidasi staf kita di kantor, karena ini semua anak Lewo Tanah” pintanya.
Thomas Ola juga harapkan semangat Statment 7 Maret menjadi bagian dari kehidupan warga Lembata.
“Kehadiran kita semuanya disini untuk Taan Tou bukan terpecah belah. Statment 7 Maret 1954 harus digaungkan terus menerus”.
“Leluhur dulu untuk menghimpun mereka, tidak naik mobil atau naik motor namun dengan naik kuda maupun berjalan kaki untuk bertemu di Hadakewa guna satu hal, Taan Tou, Ola Gelekat Lewo Tanah Sare-Sare”.
“Jangan ada perbedaan lagi. Demong dan Paji sudah selesai. Terakhir ini muncul Uyelewun Raya, Titen, kemudian ada lagi Tite Ata Ile Ape”.
“Ini kami Tite Ata Ile Ape, oh ini kami Uyelewun Raya, Oh ini kami Titen Selatan. Terus kamu sendirian saja bisa bangun ini Lewotanah?”.
“Kalau begini terus kita akan terkotak-kotak. Hilangkan stigma ini, hilangkan, hilangkan, hilangkan. Sepanjang kita terkotak-kotak seperti ini, Lewo tanah ini tidak akan pernah dibangun dengan baik”.
“Kita telah menghianati Statment 7 Maret Taan Tou bahkan dilakukan secara sadar. Arwah leluhur menangis melihat situasi seperti ini melihat anak cucunya seperti ini” ujarnya sedih.
Sebelum rapat digelar, Plt. Bupati Lembata didampingi beberapa pejabat Pemkab juga terlihat melaksanakan ritual adat di lokasi bernilai historis yang terletak disamping bangunan eks rujab bupati.
Thomas Ola juga menjelaskan kepada peserta rapat mengenai ritual yang dilakukannya tadi.
“Karena itu tadi kenapa kita Ametprat. Pak sekda sudah minta maaf dan saya juga sudah minta maaf lagi. Adat dan tradisi mengajarkan kita kalau masuk rumah besar harus ametprat (minta izin, red). Saya tahu ada yang tidak suka tapi tidak jadi soal karena ini bukan soal suka atau tidak suka tapi ini soal keyakinan”.
“Masuk rumah besar harus ametprat, ada tangan yang tidak kelihatan yang sedang menuntun kita meskipun kita tidak sadari. Karena kita tidak tahu kehidupan kedepan kita seperti apa nanti”.
“Saya bersama pak sekda dan para asisten mencoba dari hal-hal kecil. Yang lain tidak perlu tahu kami melakukan hal itu dan hal yang kecil pula kita sudah mulai dengan ritus. Ada Nuba Nara disitu leluhur 9 Kecamatan, yang mana itu harus menjadi kekuatan kita dalam membangun Lewotanah Lembata ini” ujar Thomas