BATUTARA DALAM LEGENDA RAKYAT KEDANG

0
4066

PULAU BERAPI PENUH MISTERI

Semangat dan komitmen membangun kabupaten Lembata  dengan sektor utama Pariwisata terus digelorakan. Potensi-potensi  unggulan digali dan di promosikan ke luar daerah. Salah satu moment penting menjual potensi wisata di Lembata adalah dengan Festival 3 gunung. Salah satu gunung berapi yang di festivalkan  dalam ivent bergengsi di daerah tersebut adalah Ile Batutara. Tim peliputan Dinas Kominfo Kabupaten Lembata menggali legenda tentang Batutara dengan mendatangi para tua adat di kampung Leunapoq.  Kehadiran kami sambut baik dan difasilitasi penjabat Kepala desa Normal 1 Petrus Lake dan jajarannya  untuk menggali sejarah Batuta yang konon berasal dari kampung Leunapoq.

       Hari Selasa 11 september 2018 Pukul 14.00 Wita  Tim peliputan Dinas Kominfo tiba di Kampung Leunapoq (desa Normal1) sesuai waktu yang disepakati bersama sekretaris desa yang kami konfirmasi sebelumnya. Setelah beristirahat sejenak di Balai Posyandu tim akhirnya diarahkan menuju rumah seorang tokoh masyarakat Bapak Markus Motong. Di rumah inilah kami mendengarkan legenda tentang Pulau Batutara yang oleh masyarakat Kedang menyebutnya Auq Langtare. Auq Langtare (Batutara) adalah bagian dari tanah Lembata yang terpisah akibat bencana air bah pada zaman dahulu kala yang diawali dari peristiwa dalam legenda yang dituturkan para tua adat setempat berikut ini.

      Dipuncak Gunung Uyelewun  tepatnya di Opaq Lelaq (nama tempat) hiduplah  sekelompok besar masyarakat. Suatu waktu mereka ingin selenggarakan pesta bersama  seluruh warga di kampung itu. Hewan yang akan dipotong adalah  seekor babi dan seekor kambing. Babi  disebut wawi nawal laleng,  kambingnya disebut witing dera pu,en. Babi dan kambing yang dipotong itu ternyata tidak cukup untuk dibagikan ke seluruh penghuni kampung itu. Para lelaki pun pergi berburu untuk mencari babi hutan, rusa atau binatang buruan lainnya. Dari hasil buruan dipotong dan dibagi-bagikan, namun belum cukup. Mereka pun pergi berburu yang kedua kalinya namun hasilnya belum cukup juga.Kemudian mereka pergi berburu yang ke tiga kalinya dengan membawa seekor anjing yang bernama au iki boyang.

      Sesampainya di hutan anjing itu mencium sebuah onggokan tanah yang besar dan di atasnya terdapat sejenis ubi  hutan (rengal leq). Anjing itu lalu  menggaruk garuk tanah, menyalak-nyalak sambil angkat muka ke atas, tunduk, menyalak dan menggaruk-garuk lagi, dilakukan berulang-ulang kali.  Melihat itu para pemburu mendekati,  menepuk-nepuk tanah onggokan itu sambil bermantera : fooo…….. Sehu sara, mere mara, Epaq apu,  ai  uan, bapa iu,  mokung balelang,  wara papa……fooo Sehu sara, mere mara, Epaq apu,  ai  uan, bapa iu,  mokung balelang,  wara papa (menyebut beberapa jenis ikan yang terkenal).  Setelah mantera diucapkan beberapa kali,  muncullah dari dalam onggokan tanah tersebut ubi  raksasa diikuti berbagai jenis ikan dilaut dan tertumpuk di atas tanah.   Mereka sangat terkejut bercampur heran, namun gembira dengan ikan ikan itu lalu membawanya  untuk dibagikan pada warganya untuk berpesta pora.  

     Ditengah keramaian orang berpesta pora  seorang mama bernama Dae dengan dua anaknya laki laki bernama Beni Ei dan perempuan bernama Lolo Dae tidak diberi bahan makanan apapun karena  mereka dianggap orang hina dalam masyarakat (Iden Daten Mawaq Ale).  Saat pesta terus berjalan diiringi gong gendang dan tandak dalam sorak sorai pesta , awan hitam mulai menyelimuti tempat itu.   Anjing iki boyang masuk di tengah-tengah orang bertandak  sambil mengenakan sehelai  kain kotor (mohoq)   dipinggangnya,   berlari bermain tandak dan berpantun, E’i au iki boyang… namang noq hamang ramaq  bake namang reiqte hamang, Ei au iki boyang nedung noq  ribu hedung bele nedung reiqte hedung. ( Anjing meminta untuk sama-sama bermain tandak).

Setelah itu tiba-tiba tanah terbelah,   hujan disertai  badai menimpa mereka. Sebagian besar dari mereka mati.  Tanah nilung topeq (nama tempat) terputus dan hancur berantakan, sebagian tanah itu terpisah.

Mama Dae dan anak anaknya yang disisikan dalam pesta pora itu telah jauh dari kampung. Ia lalu berusaha menyelamatkan diri dan kedua anaknya dengan kaheq omaq amaq (mengupas biji bengo) dan pihing  uye lalan  (membuang air rebusan sejenis  kacang) sambil berteriak-teriak,  kaheq omaq amaq.e……pihing uye lalan e…..kaheq omaq amaq e….pihing uye lalan e…...Dengan berteriak teriak demikian  suasana  malapetaka itupun   berangsur angsur reda.   Suasana gelap gulita,  sepi sampai akhirnya   terang pun tiba.    Disaat itu mereka melihat sebagian tanah itu terpisah, kian hari kian menjauh dan tanah yang hanyut itu auq Langtare ( Batutara) sekarang ini.

     Dikampung itu  tinggallah  mama Dae dan kedua anaknya.  Ia pun menginginginkan agar mereka bisa bertamba banyak. Karena keduanya bersaudara  maka   ia naik ke atas para-para rumahnya (maka) tanggalkan kulit tuanya dan ia turun seperti seorang  gadis cantik dengan maksud agar anaknya Beni Ei bisa mengawininya namun anaknya tidak mau. Ia pun kembali  mengenakan kembali kulit tuanya.  Suatu saat kedua muda mudi bersaudara Beni Ei dan Lolo Dae melihat belalang lagi kawin dan mereka bertanya pada mama Dae, waiq taq noq ua ya..?  (sedang apa belalang  ini ?)  Ia menjawab,  mui waiq laha name, me laha name, mui manuq laha name me laha name,  mui witing laha name me laha na me. (Kalau kamu melihat binatang buat seperti itu kamu buat seperti itu). Mama Dae menghendaki agar walaupun bersaudara mereka harus kawin agar punya keturunan.  Suatu saat Lolo Dae pun hamil dan punya anak. Karena mereka nikahi saudara kandung  maka mereka sakit-sakit karena kena kutukan adat.  Untuk mengatasinya mereka membuat ritual Poan toba Ula loyo dengan belalang. Upacara ini masih mendapat hukuman adat. Mereka membuat ritual lagi dengan ayam  namun masih kena kutukan adat juga.      Pada akhirnya mereka membuat ritual Poan Toba Ula Loyo dengan seekor Babi dan Seekor kambing.  Dari ritual ini barulah mereka sehat dan selamat, beranak cucu hingga  menurunkan warga kampung Leunapoq (desa Normal 1 ) sekarang ini. (M.MOLAN AND TIM Sumber para tetua adat desa )

PARA TUA ADAT. Beberapa tua adat yang bersaksi bahwa Batutara kadang menjauh dan kadang mendekat saat bercerrita tentang Legenda Batutara di Normal 1 beberapa waktu lalu.

KADANG DEKAT KADANG MENJAUH

Dari Legenda  Batutara  ini  Bapak Ishak Ika, Sale Milu, Leu Teheq, Markus Motong dan para tetua adat di Normal 1  bersaksi bahwa mereka sering melihat Batutara mendekat ke kampung halaman mereka dan  kadang-kadang  ia nampak jauh sekali.  Langtare selalu datang mendekat  dan ini  ada kaitannya  dengan sebuah batu di bawa pantai  Waq Niwang Langtare.(Batu jangkar  Batutara). Kalau Batutara mendekat biasanya lurus dengan batu tersebut dan kami percaya sebagai jangkarnya.

Terkait Batutara yang kadang mendekat dan menjauh, Lorens Leduq Eba Utun (78) warga desa Umaleu di Wairiang  menyatakan,  Langtare (batutara) itu kadang jauh dan kadang datang mendekati tanah asalnya di Leu Napoq dan itu kami lihat sejak dulu, katanya.

Berkaitan denga legenda itu juga, para tua adat di normal 1 menyatakan,   jenis  ubi yang  dicabut dalam legenda itu,  warga masyarakat desa dalam mengolah untuk mengkonsumsinya  tidak bisa digali dan dibersikan menggunakan perlatan dari  besi dan harus menggunakan bambu. Jika ada yang melanggar bisa  disambar petir, dan itu telah terjdi dan kami percaya kebenarannya,  tutur Bapak Sale diamini para tetua lainnya.  (M.Molan,Antunis,Sinta).